Rabu, 10 Februari 2010

INFEKSI, SINDROM KEMATIAN BAYI MENDADAK DAN OBSTIPASI BBL

2.1 INFEKSI

2.1.1 Pengertian Infeksi

Menurut kamus kedokteran infeksi merupakan penembusan dan penggandaan di dalam tubuh dari organisme yang hidup ganas seperi bakteri, virus, dan jamur.

Infeksi adalah kolonisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat membahayakan inang. (Wikipedia bahasa Indonesia).

Sedangkan infeksi perinatal yaitu infeksi pada neonatus yang terjadi pada masa prenatal, antenatal, intranatal dan postnatal. Infeksi pada neonatus lebih sering ditemukan pada bayi baru lahir dan pada bayi yang lahir dirumah sakit.

Beberapa mikroorganisme tertentu dapat menyebabkan janin menderita infeksi dan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Kadang-kadang infeksi janin ini tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit infeksi si ibu.

Infeksi pada neonatus merupakan sebab yang penting terhadap terjadinya morbiditas dan mortalitas selama periode ini. Lebih kurang 2% janin dapat terinfeksi in utero dan 10% bayi baru lahir terinfeksi selama persalinan atau dalam bulan pertama kehidupan. Para peneliti menemukan tanda inflamasi pada kira-kira 25% kasus autopsi, selain ini merupakan penyebab kedua terbanayak setelah penyakit membran hialin.

2.1.2 Patofisiologi Infeksi

Reaksi tubuh dapat berupa reaksi lokal dan dapat pula terjadi reaksi umum. Pada infeksi dengan reaksi umum akan melibatkan syaraf dan metabolik, pada saat itu terjadi reaksi ringan limporetikularis di seluruh tubuh, berupa proliferasi sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B). Kemudian reaksi lokal yang disebut inflamasi akut, reaksi ini terus berlangsung selama terjadi proses pengrusakan jaringan oleh trauma. Bila penyebab pengrusakan jaringan bisa diberantas, maka sisa jaringan yang rusak disebut debris akan difagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bekumpul di jaringan tubuh yang lain membentuk flegman (peradangan yang luas di jaringan ikat). (Sjamsuhidajat R, 1997 ).

Gambaran klinis infeksi pasca bedah adalah : Rubor (kemerahan), kalor (demam setempat) akibat vasodilatasi dan tumor (bengkak) karena eksudasi. Ujung syaraf merasa akan terangsang oleh peradangan sehingga terdapat rasa nyeri (dolor). Nyeri dan pembengkan akan mengakibatkan gangguan faal, dan reaksi umum antara lain berupa sakit kepala, demam dan peningkatan denyut jantung (Sjamsuhidajat R. 1997.).

2.1.3 Penyebab Infeksi

a) Infeksi kongenital/bawaan (congenital infection)

Banyak infeksi yang mengenai bayi baru lahir ditularkan dari ibu ke bayi, baik selama kehamilan atau proses persalinan. Umumnya disebabkan virus dan parasit seperti HIV (yang menyebabkan AIDS), rubella, cacar air, sifilis, herpes, toksoplasmosis, dan citomegali virus.

b) Streptokokus grup B

Streptokokus grup B adalah bakteri yang umum dapat menyebabkan berbagai infeksi pada bayi baru lahir, yaitu sepsis, pneumonia dan meningitis. Bayi umumnya mendapat bakteri dari ibu selama proses kelahiran, banyak perempuan hamil membawa bakteri ini dalam rektum atau vagina. Ibu dapat mentransmisikan bakteri ini kepada bayi mereka jika mereka tidak diobati dengan antibiotik.

c) Escherichia coli (E.coli)

Escherichia coli (E.coli) adalah bakteri lain sebagai penyebab infeksi pada bayi baru lahir dan dapat mengakibatkan infeksi saluran kemih, sepsis, meningitis dan pneumonia. Setiap orang membawa E.coli di tubuhnya dan bayi dapat terinfeksi dalam proses kelahiran saat bayi melewati jalan lahir atau kontak dengan bakteri tersebut di rumah sakit atau rumah. Bayi baru lahir yang menjadi sakit karena infeksi E.coli memiliki sistem kekebalan tubuh yang belum matang sehingga mereka rentan untuk sakit.

d) Jamur candida

Pertumbuhan berlebihan dari jamur candida, jamur yang ditemukan pada tubuh setiap orang, dapat mengakibatkan infeksi kandidiasis. Pada bayi baru lahir umumnya berupa ruam popok (diaper rush), dapat juga berupa sariawan (oral thrush) di mulut dan tenggorokan. Infeksi ini menyebabkan luka di sudut mulut dan bercak putih di lidah, langit-langit, bibir dan pipi bagian dalam. Bayi baru lahir seringkali mendapat jamur ini dari vagina ibu dalam proses kelahiran.

2.1.4 Macam-macam infeksi pada neonatus

Macam-macam infeksi pada neonatus dintaranya adalah:

a) Tetanus neonatorum

Merupakan penyakit infeksi pada neonatus yang sering menyebakan kematian, disebabkan oleh kuman tetanus yang memasuki tubuh melalui luka. Penyakit ini disertai dengan kekejangan otot yang berat.

b) CMV (Citomegali Viruses)

Biasanya gejalanya ringan atau sama sekali tidak ada. Pada infeksi yang telah lengkap terdapat ikterus, lesimakulopapular, generalisata disertai purpura atau petekie.

c) Virus herpes simplex

Biasanya infeksi herpes simpleks pada neonatus merupakan infeksi herpes tipe II, diduga penularan lewat jalan lahir pada saat persalinan. Bayi mulai sakit pada hari ke-4 disertai erupsi vesicular luar yang juga mengenai mata dan mukosa mulut. Bila bayi hidup biasanya terdapat gejala sisa berupa kelainan neurologik.

2.1.5 Patogenesis

Infeksi neonatus dapat melalui beberapa cara dan di bagi dalam 3 golongan yaitu:

a) Infeksi antenatal

Pada masa antenatal kuman masuk ke tubuh janin melalui peredaran darah ibu ke plasenta dan selanjutnya infeksi melalui serkulasi umbilikalis masuk ke janin.

b) Infeksi intranatal

Infeksi intranatal lebih sering terjadi dengan cara kuman dari vagina naik dan masuk kedalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Pecah ketuban lebih dari 12 jam akan menjadi penyebab timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat terjadi walaupun ketuban masih utuh. Misalnya pada partus lama dan sering dilakukan pemeriksaan dalam. Janin terkena infeksi karena inhalasi likuor yang septic sehingga terjadi pneumonia congentinal atau karena kuman memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan seplikerta. Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam vagina misalnya blennorhoe.

c) Infeksi pascanatal

Infeksi terjadi sesudah bayi lahir lengkap, infeksi terjadi akibat penggunaan alat-alat perawatan yang tidak steril, tindakan yang tidak antiseptik, atau dapat juga terjadi akibat infeksi silang, misalnya tetanus neonatorum, omfalitis, dan lain-lain.

2.1.6 Gejala Infeksi

Tanda infeksi pada bayi biasanya tidak khas seperti yang terdapat pada bayi yang lebih tua ada beberapa gejala yaitu:

a) Bayi malas minum

b) Gelisah mungkin juga dapat menjadi letargi

c) Frekuensi pernapasan meningkat

d) Berat badan menurun

e) Pergerakan kurang

f) Muntah

g) Diare

h) Sklerema, oedema

i) Perdarahan,ikterus, kejang, suhu meningkat yaitu lebih dari 38,5oC.

j) Hipotermi dan hipertermi

Pembagian Infeksi Perinatal:

1. Infeksi berat termasuk sepsis neonatorum, meningitis, pneumonia, diare epidemik, pielonefritis, osteitis akut dan tetanus neonatorum.

2. Infeksi ringan, terdiri dari infeksi pada kulit, oftalmia neonatorum, infeksi umbilicus (epifalitis) dan monoliasis. Faktor-faktor utama berperan dalam terjadinya infeksi dan menentukan beratnya infeksi pada neonatus. Hal tersebut menekankan pentingnya diagnosis dini yang tepat serta pengobatan yang memadai. Faktor tersebut adalah:

a. Macam mikroorganisme penyebab termasuk virus, bakteri, fugus, protozoa, chamydia dan mycoplasma.

b. Gambaran klinis infeksi pada neonatus tidak khas sehingga sering tidak atau terlambat terdiagnisis.

c. Beberapa uji labolatorium rutin untuk membantu diagnosis infeksi sering tidak atau terlambat.

d. Mekanisme daya tahan tubuh neonatus masih imatur sehingga memudahkan invasi mikroorganisme. Oleh karena itu infeksi mudah menjadi berat dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu beberapa jam atau beberapa beberapa hari tidak mendapat pengobatan yang tepat.

e. Banyak infeksi bakteri disebabkan oleh mikroorganisme yang reaktif telah resisten terhadap antibiotik.

2.1.7 Pencegahan infeksi

a) Mencuci tangan sampai siku dengan sabun dan air mengalir selama 2 menit sebelum masuk ke tempat rawat bayi.

b) Mencuci tangan dengan antiseptik atau sabun setiap sebelum dan sesudah memegang seorang bayi.

c) Melakukan tindakan untuk mengurangi kontaminasi pada makanan bayi dan semua benda yang berhubungan langsung dengan bayi.

d) Mencegah kontaminasi melalui udara

e) Mencegah jumlah bayi yang terlalu banyak dalam satu ruangan.

f) Ada pemisahan di kamar bersalin antara bagian septik dan aseptik.

g) Di bangsal bayi baru lahir dipisahkan antara partus aseptik dan septik.

h) Dapur susu harus bersih dan cara mencampur susu harus aseptik, setiap bayi harus mempunyai tempat pakaian sendiri dan inkubator harus selalu dibersihkan, lantai ruangan setiap hari harus dibersihkan dengan antiseptik.

i) Pemakaian antibiotik dengan indikasi jelas.

j) Melarang petugas yang menderita infeksi masuk ke tempat bayi dirawat.

Hubungan antara bayi dan keluarga harus tetap dilaksanakan agar perkembangan bayi tidak terganggu. Sedangkan bahaya infeksi dapat dikurangi dengan cara mematuhi peraturan pencegahan infeksi.

2.1.8 Penatalaksanaan infeksi

a. Apabila suhu tinggi lakukan kompres dingin

b. Berikan ASI perlahan lahan sedikit demi sedikit

c. Apabila bayi muntah, lakukan perawatan muntah yaitu posisi tidur miring ke kiri / ke kanan

d. Apabila ada diare perhatikan personal hygiene dan keadaan lingkungan

2.1.9 Asuhan bidan

a. Beritahu ibu jika bayi demam pada dasarnya merupakan reaksi alamiah tubuh terhadap adanya infeksi. Jadi, saat bayinya mengalami infeksi, demam tak perlu ditakuti karena justru itu tanda bahwa mekanisme pertahanan tubuhnya bekerja dengan baik.

b. Memberitahu ibu untuk segera mengompres bayinya jika suhu tubuh bayi dirasakan telah tinggi

c. Jika suhu tubuh bayi setelah dikompres tetap tinggi maka berikan saran kepada ibu untuk membawa bayinya ke tenaga kesehatan untuk ditindaklanjuti

d. Rujuk segera ke rumah sakit, jelaskan kepada keluarga bahwa anaknya perlu dirujuk untuk perawatan selanjutnya

e. Beritahu ibu untuk selalu menjaga kebersihan dirinya, bayinya, dan lingkungannya

2.2 SINDROM KEMATIAN BAYI MENDADAK

2.2.1 Pengertian Sindrom Kematian Bayi Mendadak (SKBM)

Sindrom kematian bayi mendadak (SKBM) didefinisikan sebagai kematian mendadak pada bayi atau pada anak kecil yang tidak terkirakan anamnemis dan tidak terjelaskan dengan pemeriksaan postmoterm menyeluruh, yang meliputi otopsi, penyelidikan terjadinya kematian, dan tinjauan riwayat medis keseluruhan.

SKBM merupakan penyebab utama kematian bayi pascaneonatus di negara maju, umumnya mencapai 40–50% dari kematian bayi antara umur 1 bulan – 1 tahun, di Amerika Serikat angka SKBM adalah 1,3 /1000 kelahiran hidup paling tidak 6000 kematian terjadi setiap tahun. SKBM jarang sebelum umur 1 bulan, insiden puncak adalah 2-4 bulan dan 95% dari semua kasus SKBM terjadi pada umur 6 bulan.

2.2.2 Penyebab SKBM

Berbagai faktor genetik, lingkungan atau sosial telah dikaitkan dengan peningkatan resiko SKBM termasuk kelahiran prematur, terutama dengan riwayat apnea, BBLR, cuaca dingin, ibu muda yang tidak menikah, kondisi sosial ekonomi yang buruk termasuk populasi yang padat, riwayat ibu perokok, anemia, penggunaan narkotika, cacat batang otak, fungsi saluran nafas yang abnormal dan hiperaktif, riwayat SKBM pada saudara sekandung, riwayat ”hampir hilang”, atau episode SKBM yang abortif (misalnya; masa dimana bayi berhenti bernapas, menjadi sianosis atau pucat, serta menjadi tidak responsif, tapi berhasil diresusitasi).

Tanda dan gejala:

a) Bayi mempunyai suara tangisan yang bernada lebih tinggi atau lebih rendah dari normal.

b) Mengalami takikardi dengan variasi denyut yang lebih dari normal.

c) Meningkatnya frekuensi pernafasan serta penurunan insiden apnea.

d) Labilitas yang lebih tinggi dari normal dan stabilitas denyut jantung yang lebih buruk.

2.2.3 Patofisiologi SKBM

Temuan postmortem adalah terkait langsung dengan kelainan perkembangan batang otak dan asfiksia kronis. Perubahan asfiksi adalah akibat kelainan yang mendasar yang menyebabkan gangguan perkembangan batang otak atau akibat disfungsi batang otak. Berdasarkan data postmortem dan kelainan fungsi yang ada pada bayi dengan risiko tinggi untuk SKBM, hipotesis yang paling kuat untuk menjelaskan SKBM adalah kelainan batang otak dalam mengendalikan kardiorespirasi.

Peningkatan risiko SKBM yang terkait dengan banyak faktor obstetri menunjukkan bahwa lingkungan dalam rahim calon korban SKBM adalah suboptimal. Ibu merokok selama kehamilan meningkatkan dua kali risiko SKBM, bayi dari ibu perokok juga tampak meninggal pada umur yang lebih muda. Risiko kematian membesar secara progresif sejalan dengan peningkatan pajanan rokok sehari-hari dan sejalan dengan menjeleknya anemia ibu. Iskemia janin yang disebabkan oleh vasokontriksi diduga merupakan mekanisme dimana merokok pada ibu merupakan predisposisi terjadinya SKBM.

Posisi tidur tengkurap pada bayi adalah faktor risiko bermakana untuk SKBM. Frkuensi SKBM tiga kali lebih besar bila posisi tidur yang terutama adalah tengkurap (di atas perut) daripada bila terlentang (di atas punggung). Program intervensi berdasarkan populasi untuk mengurangi tidur tengkurap telah menghasilkan penurunan yang besar prevalensi tidur tengkurap dan penurunan yang besar angka SKBM sebesar 50 % atau lebih.

2.2.4 Pencegahan SKBM
Untuk mencegah kemungkinan bayi terkena resiko SKBM maka dilakukan pencegahan sebagai berikut:

1. Orang tua berhenti merokok

2. Tidak menempatkan bayi tidur dengan posisi telungkup atau wajah menghadap kasur

3. Memberikan ASI yang cukup pada bayi agar bayi memiliki sistem imun yang kuat

4. Menidurkan bayi pada permukaan yang agak keras

5. Menghindarkan bayi dari suhu yang terlalu panas saat tidur

2.2.5 Peran Orangtua

a. Harap waspada jika anak sedang berada dalam ayunan atau tempat tidur dengan bantal, mainan lunak, dan besar, yang bisa menyebabkan muka bayi tertutup dan mempengaruhi dia bernapas. Jauhkan bayi anda dengan kondisi kepala terbuka. Pastikan suhu ruangan (sekitar 65 derajat Fahrenheit), terutama jika anda membedung bayi.

b. Orang tua jangan memakaikan baju berlebihan, pakailah pakaian seperlunya saat bayi tidur.

c. Orang tua sangat diharapkan tidak merokok di sekitar bayinya dan menjauhkan bayi dari orang-orang yang merokok.

2.2.6 Penatalaksanaan SKBM

Dengan kemajuan teknologi dan bertambah banyaknya orang tua yang mendapat informasi mengenai SKBM, maka tekanan untuk memantau ventilasi dan denyut jantung semakin meningkat. Terdapat kebutuhan untuk menentukan rentan normal dari denyut jantung, variasi kecepatan denyut jantung, frekuensi dan lama jeda pernapasan, sehingga bayi-bayi yang mungkin mendapat manfaat dengan pemantauan dapat diidentifikasi. Pemantauan denyut jantung (EKG) saat ini lebih maju secara teknis dibandingkan pemantauan ventilasi (pemantauan apnea). Pemantauan apnea tergantung pada gangguan mungkin tidak dapat mendeteksi obstruksi saluran nafas lengkap karena bayi tetap melanjutkan gerakan-gerakan pernapasan. Karena apnea yang serius dapat terabaikan jika hanya melakukan pemantauan gerakan torakoabdominal saja, maka harus disertakan pula pemantauan denyut jantung.

Pada saat ini, sulit untuk memutuskan apakah pemantauan di rumah diperlukan atau diinginkan, atau berapa lama harus dilakukan. Kesanggupan anggota keluarga untuk menangani alat pantau serta melakukan tindakan-tindakan yang tepat terhadap alarm serta alarm palsu merupakan faktor yang kritis dalam mengambil keputusan. Untuk saat ini, kami yakin bahwa program pemantauan di rumah seharusnya tidak terlepas dari riset yang mengevaluasi program tersebut beserta pengaruhnya.

Bahkan seandainya mungkin untuk pencegahan SKBM khususnya pada semua bayi beresiko tinggi, beberapa kasus akan terjadi pada bayi yang tidak dianggap beresiko. Dengan alasan ini dan karena menurut definisi kematian datang dengan cepat dan tanpa peringatan maka perlu diberikan dukungan psikologi dan emosi.

2.2.7 Asuhan bidan

a. Beritahu ibu cara menyusui yang benar dan aman karena dikhawatirkan ibu menyusui sambil berbaring yang dapat memungkinkan bayi mengalami sesak napas karena tertutup hidungnya.

b. Beritahu ibu untuk tidak membiarkan bayinya tidur dalam keadaan tengkurap, jika bayi tertidur seperti itu maka ibu seharusnya merubah posisi tidurnya.

c. Beritahu orang tua untuk berada jauh dari bayi saat merokok.

2.3 OBSTIPASI

2.3.1 Pengertian Obstipasi

Obstipasi merupakan salah satu gangguan pencernaan yang cukup banyak dijumpai pada neonatus, bayi, dan anak. Obstipasi diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya penurunan frekuensi atau berkurangnya defekasi. Pada sebagian besar kasus, biasanya bayi mengalami abdominal distension dan gagal mengeluarkan meconium dalam beberapa jam pertama kehidupan. Gagal BAB pada periode neonatal harus selalu dipertimbangkan sebagai suatu yang abnormal sampai terbukti bahwa hal tersebut merupakan kasus lain. Sekitar 94% bayi normal, secara spontan mengeluarkan meconeum dalam 24 jam setelah lahir dan 99,8 % BAB dalam 48 jam pertama.

Ada beberapa variasi pada kebiasaan buang air besar yang normal. Biasanya buang air besar 2-3 kali sehari tergantung jenis susu yang dikonsumsi akan tetapi masih mungkin normal bila buang air besar 36-48 jam sekali asal konsistensi tinja normal.

2.3.2 Patofisiologi Obstipasi

Kolon mempunyai fungsi menerima bahan buangan dari ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memadatkannya menjadi tinja. Fungsi ini dilaksanakan dengan berbagai mekanisme gerakan yang sangat kompleks. Pada keadaan normal kolon harus dikosongkan sekali dalam 24 jam secara teratur. Diduga pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon sampai ke daerah rektosigmoid terjadi beberapa kali sehari, lewat gelombang khusus yang mempunyai amplitudo tinggi dan tekanan yang berlangsung lama. Gerakan ini diduga dikontrol oleh pusat yang berada di batang otak, dan telah dilatih sejak anak-anak.

Proses sekresi di saluran cerna mungkin dapat megalami gangguan, yaitu kesulitan atau hambatan pasase bolus di kolon atau rektum, sehingga timbul kesulitan defekasi atau timbul obstipasi. Gangguan pasase bolus dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau dapat karena kelainan psikoneuorosis. Yang termasuk gangguan pasase bolus oleh suatu penyakit yaitu disebabkan oleh mikroorganisme (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, misalnya tumor baik jinak maupun ganas, pasca bedah di salah satu bagian saluran cerna (pasca gastrektomi, pasca kolesistektomi).

2.3.3 Tanda dan gejala Obstipasi

a) Sering menangis

b) Susah tidur

c) Gelisah

d) Perut kembung

e) Kadang-kadang muntah

f) Abdomen distensi dan Anoreksia

2.3.4 Penyebab Obstipasi

a) Penyaluran makanan yang kurang baik, misalnya makanan yang diberikan pada bayi muda kurang mengandung air/gula, sedangkan pada bayi usia lebih tua biasanya karena makanan yang kurang mengandung polisakarida atau serat.

b) Kemungkinan adanya gangguan pada usus seperti pada penyakit Hirschpung yang berarti usus tidak melakukan gerakan peristaltik.

c) Sering menahan sembelit karena nyeri pada saat buang air besar.

2.3.5 Pencegahan Obstipasi

a) Berikan asupan ASI yang lebih banyak dan pastikan bayi tidak mengalami dehidrasi.

b) Usahakan diet pada ibu dan bayi yang cukup mengandung makanan yang banyak serat seperti buah-buahan dan sayuran.

c) Perhatikan ekspresi wajah bayi pada saat BAB, jika mukanya merah menandakan bayi sulit mengejan sehingga feses tidak kunjung keluar. Bahkan saat keluar pun terdapat darah yang menyertai karena ada bagian tubuh yang terluka / teriritasi).

2.3.6 Penatalaksanaan Obstipasi

a) Pemberian laktasi hanya merupakan tindakan pariatif yaitu hanya bila diperlukan saja.

b) Peningkatan intake cairan.

c) Bila diduga terdapat penyakit hirschpung dapat dilakukan tes tekanan usus.

2.3.7 Asuhan Bidan

a) Beritahu ibu untuk selalu memberikan ASI-nya agar bayi tidak mengalami dehidrasi.

b) Beritahu ibu untuk makan makanan yang kaya serat seperti sayuran dan buah-buahan.

c) Beritahu ibu untuk menambah asupan cairan agar ASI nya memiliki kandungan air yang lebih agar dapat memperlancar BAB pada bayi

1 komentar: